Aceng Syamsul Hadie: Menolak Bantuan Internasional, Negara Sedang Mengkhianati Rakyatnya - Warta Global Jabar

Mobile Menu

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

Aceng Syamsul Hadie: Menolak Bantuan Internasional, Negara Sedang Mengkhianati Rakyatnya

Friday, 19 December 2025
Aceng Syamsul Hadie: Menolak Bantuan Internasional, Negara Sedang Mengkhianati Rakyatnya

JAKARTA | Warta Global ID — Di tengah bencana besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera dan membuat pemerintah daerah kewalahan, keputusan Presiden Prabowo Subianto menolak bantuan internasional dinilai bukan lagi sekadar kebijakan teknokratis. Keputusan tersebut telah berubah menjadi langkah politik yang mempertaruhkan keselamatan rakyat.

Kebijakan penolakan bantuan internasional itu menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN (Asosiasi Wartawan Internasional), Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., MM.

“Menolak bantuan internasional artinya negara sedang mengkhianati rakyatnya,” tegas Aceng dalam pernyataan tertulisnya.

Aceng mengaku prihatin melihat kondisi di lapangan. Saat korban terus berjatuhan, pengungsi kekurangan pangan, air bersih, layanan kesehatan, dan hunian layak, pemerintah pusat justru mengedepankan narasi kedaulatan dan kemampuan nasional. Narasi tersebut, menurutnya, terdengar gagah di podium, namun runtuh di hadapan realitas lapangan.

“Fakta berbicara jujur. Daerah tidak mampu, relawan kewalahan, logistik terbatas, dan pemulihan berjalan lambat,” ujarnya.

Ia menegaskan, dalam negara demokrasi konstitusional, tidak ada legitimasi kekuasaan yang lebih tinggi daripada keselamatan rakyat. Pasal 28A UUD 1945 menjamin hak hidup setiap warga negara, sementara Pasal 34 mewajibkan negara memelihara fakir miskin dan korban bencana.

“Menolak bantuan kemanusiaan ketika kapasitas nasional tidak mencukupi adalah pelanggaran moral terhadap konstitusi, bahkan berpotensi menjadi kelalaian negara yang disengaja (deliberate negligence),” kata Aceng.

Lebih lanjut, ia menantang pemerintah untuk membuka data secara transparan jika memang mengklaim mampu menangani bencana secara mandiri.

“Jika negara benar-benar mampu, tunjukkan datanya. Berapa stok logistik nasional? Berapa alat berat yang siap di lokasi? Berapa tenaga medis di zona terdampak? Dan berapa anggaran darurat yang sudah tersalurkan? Tanpa transparansi, klaim kemampuan nasional hanyalah retorika kekuasaan untuk menutupi kegagalan manajemen krisis,” sindirnya.

Aceng juga mempertanyakan motif politik di balik penolakan bantuan internasional tersebut. Menurutnya, muncul pertanyaan serius tentang apa yang sebenarnya sedang dilindungi negara.

“Apakah rakyat yang menjadi korban, atau narasi pembangunan yang selama ini menutup mata terhadap kerusakan ekologis di Sumatera?” ucapnya.

Ia mengingatkan bahwa deforestasi, pertambangan, dan ekspansi perkebunan skala besar telah lama diperingatkan sebagai bom waktu bencana. Ketika bencana itu akhirnya terjadi, negara justru bersikap defensif, tertutup, dan alergi terhadap pengawasan internasional.

“Dalam literatur politik dan ekologi, ini bukan sekadar bencana alam, melainkan bencana struktural—produk dari kebijakan negara yang gagal mengelola ruang hidup rakyat. Penolakan bantuan internasional bukan hanya soal logistik, tetapi juga upaya mempertahankan narasi bahwa negara baik-baik saja, padahal kenyataannya tidak,” tambahnya.

Aceng menegaskan bahwa nasionalisme tidak diukur dari kerasnya penolakan terhadap bantuan asing, melainkan dari keberanian mengakui keterbatasan demi menyelamatkan nyawa rakyat.

“Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara maju lainnya menerima bantuan internasional saat bencana melampaui kapasitas mereka. Tidak satu pun kehilangan kedaulatan. Justru negara yang membiarkan rakyatnya mati demi menjaga gengsi politiklah yang kehilangan kedaulatannya,” tegas Aceng.

Ia pun mendesak DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan secara serius apabila pemerintah tetap menutup pintu bantuan internasional. Selain itu, Komnas HAM dan lembaga negara independen lainnya diminta turun tangan.

“Dalam kondisi ekstrem, penolakan bantuan dapat dikategorikan sebagai pengabaian hak asasi manusia,” ujarnya.

Menurut Aceng, rakyat tidak membutuhkan negara yang tampak kuat di layar televisi, melainkan negara yang benar-benar hadir di tenda pengungsian, dapur umum, dan rumah-rumah yang hancur.

“Kekuasaan yang kehilangan empati tidak layak dibela atas nama nasionalisme,” katanya.

Ia menutup pernyataannya dengan peringatan keras:

“Sejarah tidak akan mencatat siapa yang paling keras menolak bantuan. Sejarah akan mencatat siapa yang membiarkan rakyatnya menderita ketika pertolongan tersedia, tetapi ditolak atas nama politik. Pada titik itu, penolakan bantuan bukan lagi kesalahan kebijakan, melainkan pengkhianatan terhadap mandat rakyat.”***(RK)

Sumber: ASH
Editor: Tim Redaksi

KALI DIBACA

No comments:

Post a Comment