Boni Hargens: Paradigma Baru Penegakan Hukum - Warta Global Jabar

Mobile Menu

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

Boni Hargens: Paradigma Baru Penegakan Hukum

Tuesday, 7 October 2025


Foto Istimewa


wartaglobaljabar.id - Analis politik Boni Hargens menegaskan bahwa ukuran kemajuan lembaga penegak hukum bukan terletak pada seberapa kuat kekuasaan yang dimilikinya, melainkan pada seberapa besar keberanian lembaga tersebut untuk diawasi secara terbuka. Paradigma ini mengubah fundamental pemahaman kita tentang kekuatan institusional.

"Ukuran kemajuan lembaga penegak hukum bukan seberapa kuat dia berkuasa, tapi seberapa berani dia diawasi," tegasnya pada 7 Oktober 2025 di Jakarta. Pernyataan ini menempatkan transparansi dan akuntabilitas sebagai indikator utama kedewasaan institusional.

Menurutnya, lembaga besar bukan yang menolak kontrol, melainkan yang menjadikan pengawasan sebagai cermin moral untuk perbaikan berkelanjutan. Ini adalah pergeseran dari paradigma kekuasaan menuju paradigma pelayanan public dengan prinsip-prinsip utama sebagai berikut:

Transparansi sebagai kekuatan
Akuntabilitas publik menyeluruh
Keberanian moral institusional
Keterbukaan terhadap kritik
Kolaborasi lintas lembaga
Polri sebagai Teladan Reformasi Institusional

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menunjukkan kedewasaan institusional yang patut menjadi rujukan bagi lembaga penegak hukum lainnya. Boni Hargens menilai bahwa Polri telah melampaui ekspektasi dalam menjalankan fungsi penegakan hukum dengan keterbukaan yang progresif.

· Keterbukaan Pengawasan

Polri bersedia diawasi oleh berbagai lembaga eksternal dan internal, menunjukkan kepercayaan diri moral yang tinggi.

· Koordinasi PPNS

Bekerja sama dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil melalui mekanisme Korwas PPNS sesuai KUHAP Pasal 6 ayat (1).

· Kepatuhan Regulasi

Menjalankan Perkapolri No. 20 Tahun 2010 dengan konsisten dalam berbagi kewenangan penyidikan.

Moralitas menjadi fondasi dari semua bentuk reformasi hukum yang sejati. Ketika Polri bersedia berbagi kewenangan dengan PPNS dan lembaga lainnya, ini bukan menunjukkan kelemahan, tetapi justru mencerminkan kekuatan moral yang kokoh. "Reformasi sejati bukan memperluas wewenang, tapi memperluas transparansi," ujar Boni yang pernah menempuh studi criminal justice system di Universitas Walden, Amerika Serikat, sebelum meraih gelar doktor filsafat (PhD) dari universitas yang sama.

Pendekatan ini menciptakan ekosistem penegakan hukum yang lebih sehat, di mana setiap lembaga memahami perannya dalam sistem checks and balances. Polri menjadi contoh bahwa lembaga yang kuat adalah lembaga yang berani dikritik dan diperbaiki secara berkelanjutan.

Dinamika Polri-Kejaksaan: Mencari Keseimbangan

Sejak pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, telah muncul ketegangan laten antara Polri dan Kejaksaan dalam konteks penyidikan dan penuntutan. Peran jaksa sebagai penyidik dalam kasus korupsi dan pelanggaran HAM berat sering menimbulkan tumpang tindih kewenangan yang kontraproduktif.

Boni menekankan bahwa masalah bukan terletak pada semangat pemberantasan korupsi, yang memang harus dijalankan dengan serius. Persoalan fundamental terletak pada hilangnya fungsi check and balance ketika satu lembaga merangkap dua peran kritis sekaligus.

Risiko Konsentrasi Kekuasaan

"Jika jaksa menjadi penyidik sekaligus penuntut, maka sistem koreksi internal hilang. Ini bertentangan dengan semangat KUHAP 1981," jelas Boni yang saat ini sedang menempuh studi ilmu hukum. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sistem yang ideal memerlukan pemisahan fungsi untuk memastikan setiap tahapan proses hukum memiliki mekanisme pengawasan independen.

Ketika dua fungsi kritis dipegang oleh satu tangan, potensi penyalahgunaan wewenang meningkat signifikan. Lebih dari itu, hilangnya mekanisme kontrol internal dapat melemahkan kualitas penegakan hukum secara keseluruhan.

"Masalahnya bukan pada semangat pemberantasan korupsi, tetapi pada hilangnya fungsi check and balance. Negara ini tidak kekurangan aturan, tapi sering kehilangan keseimbangan."

RKUHAP 2025: Peluang dan Ancaman

Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 memasuki fase krusial yang akan menentukan arah penegakan hukum Indonesia untuk dekade mendatang. Boni Hargens mengingatkan bahwa proses legislasi ini harus dikawal dengan ketat agar tidak melemahkan prinsip keseimbangan hukum yang telah dibangun sejak KUHAP 1981.

· Pembatasan Objek Praperadilan: Beberapa pasal dalam draf RKUHAP mengusulkan pembatasan objek yang dapat diajukan dalam praperadilan. Ini berpotensi mengurangi akses keadilan bagi tersangka dan mengurangi fungsi kontrol yudisial terhadap penyidikan.

· Penguatan Peran Jaksa dalam Prapenuntutan: Perluasan kewenangan jaksa dalam tahap prapenuntutan dapat menciptakan konsentrasi kekuasaan yang tidak sehat. Fungsi koordinatif harus dibedakan dari fungsi kontrol untuk menjaga keseimbangan sistem.

· Pemusatan Kekuasaan Hukum: Tren pemusatan kekuasaan hukum di satu lembaga bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan dalam negara hukum demokratis. Sistem hukum memerlukan distribusi kewenangan yang proporsional.

"Hukum harus punya dua mata: satu menyidik, satu mengontrol. Kalau dua fungsi itu dipegang satu tangan, keadilan bisa buta," tandas Boni dengan analogi yang tajam. Pernyataan ini menekankan pentingnya separasi fungsi dalam sistem peradilan pidana untuk memastikan objektivitas dan keadilan prosedural.

Sistem Pengawasan Dua Lapis: Solusi Struktural

Boni Hargens mengusulkan inovasi sistemik melalui penerapan Dual Control Justice System (Sistem Pengawasan Hukum Dua Lapis) sebagai solusi rasional untuk menata ulang keseimbangan antara Polri dan Kejaksaan. Model ini menawarkan kerangka kerja yang lebih jelas dan terukur dalam pembagian peran kedua lembaga dengan pembagian peran sebagai berikut:

1. Polri: Pelaksana Penyidikan: Tetap menjadi pelaksana utama penyidikan sebagaimana amanat KUHAP, dengan kewenangan penuh dalam pengumpulan bukti dan penetapan tersangka.

2. Kejaksaan sebagai Judicial Controller: Berfungsi sebagai pengendali formil yang memastikan legalitas dan kelengkapan berkas perkara sebelum masuk ke tahap penuntutan.

3. Mekanisme Saling Jaga: Fungsi P-19 dan P-21 kembali bermakna, pengawasan berjalan dua arah, dan kredibilitas kedua lembaga justru meningkat.

Sistem dua lapis ini bukan kompetisi antar lembaga, tetapi mekanisme saling jaga. Dengan pemisahan peran yang jelas, setiap lembaga dapat fokus pada fungsi intinya tanpa tumpang tindih kewenangan yang kontraproduktif. Setidaknya, ada bebrapa keuntungan Sistem Dua Lapis:

Pemisahan fungsi yang jelas dan terukur
Mekanisme check and balance yang efektif
Peningkatan kualitas berkas perkara
Reduksi potensi penyalahgunaan wewenang
Penguatan kepercayaan publik
Efisiensi proses peradilan pidana
Model ini mengembalikan fungsi P-19 (penetapan bahwa penyidikan sudah lengkap) dan P-21 (penetapan bahwa penyidikan belum lengkap) kepada makna aslinya sebagai mekanisme kontrol kualitas dalam proses peradilan pidana. Kejaksaan tidak mengambil alih fungsi penyidikan, tetapi memperkuat perannya sebagai quality controller yang memastikan setiap perkara yang masuk ke pengadilan telah memenuhi standar pembuktian yang ketat.

Reformasi di Era Prabowo: Moral, Bukan Struktur

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia memiliki kesempatan untuk mereformasi sistem hukum dengan pendekatan yang lebih holistik dan berorientasi pada penguatan moral institusional.

Boni Hargens menekankan bahwa arah reformasi hukum seharusnya berfokus pada penguatan moral lembaga dan keseimbangan kewenangan, bukan pada perluasan struktur kekuasaan yang cenderung menciptakan oligarki hukum.

Polri telah menjadi contoh nyata lembaga hukum yang berani diawasi dan siap dikritik. Model ini harus direplikasi ke lembaga-lembaga lainnya untuk menciptakan ekosistem penegakan hukum yang sehat dan berkelanjutan.Esensi dari reformasi moral adalah berikut ini:

1. Penguatan Moral Institusional: Membangun budaya integritas dan akuntabilitas di setiap lembaga penegak hukum sebagai prioritas utama reformasi.

2. Keseimbangan Kewenangan: Memastikan distribusi kekuasaan yang proporsional antar lembaga untuk mencegah konsentrasi yang berlebihan.

3. Transparansi Lintas Lembaga: Mendorong semua institusi hukum untuk membuka diri terhadap pengawasan publik dan evaluasi independen.

4. Kolaborasi Berkelanjutan: Membangun mekanisme koordinasi yang efektif tanpa menghilangkan fungsi check and balance antar lembaga.

"Bangsa ini butuh lembaga hukum yang saling mengawasi, bukan saling meniadakan. Reformasi hukum bukan tentang memperluas kekuasaan, tapi memperluas tanggung jawab moral," ujar Boni dengan penuh keyakinan.

Kini, giliran lembaga-lembaga lain untuk meneguhkan komitmen mereka terhadap transparansi dan kolaborasi lintas institusi. Reformasi hukum yang sejati bukan diukur dari seberapa banyak kewenangan yang ditambahkan, tetapi dari seberapa besar tanggung jawab moral yang dipikul dan dijalankan dengan konsisten.

Penutup

Dalam analisis komprehensifnya, Boni Hargens menghadirkan pandangan yang mendasar tentang arah reformasi hukum Indonesia. Menurutnya, keadilan hanya akan hidup ketika semua lembaga berdiri sejajar di bawah hukum yang sama dan terbuka terhadap evaluasi publik. Tidak ada ruang bagi privilese institusional dalam negara hukum yang demokratis.

Sistem hukum yang adil memerlukan institusi yang saling mengawasi, bukan saling meniadakan. Setiap lembaga harus memahami bahwa kekuatan sejati terletak pada keberanian untuk dikritik dan diperbaiki.

Polri telah menunjukkan jalan dengan membuka diri terhadap pengawasan publik. Kini saatnya lembaga lain mengikuti jejak ini untuk menciptakan ekosistem hukum yang lebih sehat dan dipercaya masyarakat.

"Reformasi hukum tanpa moral hanyalah kekuasaan yang berganti wajah. Tapi kalau moral ditegakkan, keadilan akan hidup, dan rakyat kembali percaya pada hukumnya sendiri."

Penutup dari Boni Hargens ini merangkum esensi dari seluruh pemikiran reformasi hukum yang diusulkannya. Moral bukan sekadar ornamen etis, tetapi fondasi struktural yang menentukan apakah sistem hukum akan melayani keadilan atau justru melanggengkan kekuasaan. Ketika moral ditegakkan dengan konsisten di setiap lembaga, kepercayaan publik akan tumbuh kembali, dan hukum akan menjadi instrumen keadilan yang sejati bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pemikiran Boni Hargens tentang reformasi hukum menawarkan kerangka kerja yang komprehensif untuk membangun sistem penegakan hukum yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Dengan menjadikan Polri sebagai teladan dan mengusulkan Sistem Dua Lapis Pengawasan Hukum, ia membuka jalan bagi transformasi institusional yang bermakna di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

(Red)

KALI DIBACA

No comments:

Post a Comment