Anak Masuk Barak sebuah Obsesi Disiplin: Apakah Kita Gagal Mengasuh?" - Warta Global Jabar

Mobile Menu

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

Anak Masuk Barak sebuah Obsesi Disiplin: Apakah Kita Gagal Mengasuh?"

Sunday, 6 July 2025

Anak Masuk Barak sebuah Obsesi Disiplin: Apakah Kita Gagal Mengasuh?"




WARTAGLOBAL.ID - Fenomena kenakalan remaja yang semakin marak di Jawa Barat khususnya menjadi perhatian serius berbagai pihak. Tawuran, minuman keras, merokok, bolos sekolah, hingga kecanduan game online, melawan orang tua dianggap sebagai gejala hilangnya kontrol diri anak dan disiplin generasi muda yang mengalami degradasi. Untuk menjawab tantangan ini, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengusulkan langkah kontroversial: mengirim anak-anak pelanggar norma ke barak militer dengan harapan dapat “dibentuk” kembali menjadi pribadi yang disiplin, bertanggung jawab, dan taat terhadap aturan sosial maupun hukum. Mendengar kata barak militer langsung timbul dalam pemikiran kita bagaimana sosok tegas para anggota Tentara Nasional Indonesia dibentuk di dalamnya.

Kebijakan ini sontak memicu respon beragam. Sebagian masyarakat mendukungnya sebagai upaya tegas untuk menyelamatkan anak dari jurang kehancuran moral, sementara di sisi lain para aktivis pelindungan anak mengkritik pendekatan ini sebagai bentuk pelanggaran hak anak, karena mengabaikan prinsip-prinsip pengasuhan yang berbasis kasih sayang dan pendidikan yang holistik seperti yang di ungkapkan Arist Merdeka Sirait, seorang aktivis perlindungan anak yang menjabat sebagai Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang dilansir Republika. co.id yaitu “pendekatan militeristik terutama yang melibatkan kekerasan fisik dan mental adalah pelanggaran berat terhadap hak anak. Anak-anak butuh cinta, bimbingan, dan pendidikan holistik, bukan disiplin berbasis ketakutan. Ia menambahkan bahwa barak militer dengan aturan ketat dan hukuman fisik berisiko menciptakan anak-anak yang trauma dan penuh amarah, mengabaikan prinsip pengasuhan yang berbasis kasih sayang.” (Republika Online, 2013, paragraf 5).

Pendapat serupa juga diutarakan Dr. Seto Mulyadi atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Kak Seto sebagai psikolog anak dan ketua umum lembaga perlindungan anak Indonesia (LPAI)  “Pendidikan di sekolah harus berbasis cinta bukan ketakutan , “ menurut kak seto, “disiplin harus dibangun dari kesadaran, bukan dari rasa takut, pendekatan disiplin yang otoriter dan berbasis hukuman, seperti di barak militer hanya akan menghasilkan kepatuhan yang bersifat sementara.” (kompas.com,2020, paragraf 2). Lalu pendekatan mana yang sesungguhnya dapat menyatukan kedua sisi yang berbeda tersebut?
Tulisan ini bertujuan untuk mengulas fenomena tersebut dari perspektif pelindungan hak anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Pelindungan Anak. Penulis ingin mengajak pembaca untuk merenungkan, dalam konteks semangat memperbaiki perilaku anak, hak apa yang justru bisa hilang ketika keluarga dan masyarakat menyerahkan tanggung jawab itu sepenuhnya kepada institusi lain seperti militer?
Dalam narasi kebijakan tersebut, penguasa mengambil alih peran keluarga dan sekolah dalam mendidik anak. Pendidikan di barak militer menjadi bentuk “resosialisasi” ala penguasa yang bercorak militeristik. Kebijakan ini secara eksplisit bertujuan memulihkan fungsi anak sebagai generasi penerus bangsa dengan pendekatan ketertiban dan pembentukan karakter melalui metode kedisiplinan militer. 

Namun, pendekatan seperti ini mengandung sejumlah pertanyaan kritis, apakah pendekatan militer efektif dalam membentuk karakter anak? ataukah efek jera itu menjadi satu-satunya cara untuk memberikan cambuk kesadaran bagi mereka? Bukankah seharusnya anak-anak  tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan stimulasi positif? Apakah anak-anak diberi ruang untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan kebijakan ini?
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, menegaskan bahwa anak memiliki hak yang melekat sejak lahir, seperti hak untuk mendapatkan pengasuhan dalam keluarga (Pasal 7), mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik maupun psikis (Pasal 13), tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya (Pasal 4), didengar pendapatnya dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya (Pasal 10A), tidak dipisahkan dari orang tuanya kecuali demi kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 14).

Mengirim anak ke barak militer tanpa proses hukum atau konsultasi psikologis bisa melanggar hak-hak tersebut. Terutama jika kebijakan ini dilakukan tanpa persetujuan anak dan keluarga, serta tanpa pemenuhan prinsip the best interest of the child (kepentingan terbaik bagi anak) sebagaimana ditekankan dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang juga telah diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Kita mungkin akan kembali berpikir tentang bagaimana para orang tua yang saat ini telah mengalami  krisis kesabaran dan kegalauan.
Kebijakan ini juga dapat mengarah pada bentuk kekerasan struktural jika anak diperlakukan secara keras, diberi hukuman fisik, atau dipaksa mengikuti aktivitas militeristik tanpa pemahaman akan konteks perkembangan psikologisnya. Anak bukanlah objek pemaksaan, melainkan subjek yang memiliki hak untuk dihormati dan dilindungi.

Sebagian masyarakat dan aparat daerah mendukung pendekatan militer sebagai bentuk pembinaan dalam menanamkan kedisiplinan, tanggung jawab, ketertiban, serta cinta tanah air. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan bukan tindakan menghukum tetapi mendidik dengan cara keras demi menyelamatkan masa depan anak.

Sebaliknya, penolakan datang dari kalangan aktivis pelindungan anak, akademisi, hingga psikolog perkembangan anak, mereka berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Undang – Undang  Pasal 7 dan Pasal 14 UU No. 35 Tahun 2014 yang berisi pelanggaran terhadap hak anak untuk diasuh dalam keluarga, Stigmatisasi anak yang dianggap “nakal” tanpa melihat akar masalah seperti lemahnya peranan keluarga, tekanan sosial, atau kurangnya dukungan emosional.Trauma psikologis yang bisa timbul akibat pola pendidikan keras ala militer, terutama pada anak yang masih berada dalam fase sensitif perkembangan. Absennya pendekatan holistik, yang seharusnya melibatkan konseling keluarga, pendidikan karakter, serta keterlibatan sekolah dan komunitas.

Pendekatan represif seperti ini dinilai menyederhanakan persoalan kompleks yang dihadapi anak-anak. Farraas Afiefah Muhdiar, seorang Psikolog Anak, Remaja, dan keluarga mengingatkan, solusi tunggal seperti penempatan ke barak militer tidak bisa menyelesaikan semua bentuk kenakalan siswa. Dalam pandangan kritis ini, barak militer tidak lebih dari upaya instan yang tidak menyentuh akar persoalan.

Pakar psikologi dan perlindungan anak menyoroti bahwa pendekatan barak militer berdampak negatif signifikan pada anak meliputi tumbuh kembang anak yang beresiko menimbulkan trauma dan gangguan mental seperti kecemasan, depresi serta luka psikologis. Perubahan perilaku hanya bersifat sementara tergantung otoritas bukan berbasis kesadaran. Kekerasan juga berakibat menurunkan fungsi otak dan konsentrasi yang berdampak pada prestasi akademik (Irwanto & Kumala, 2020, hlm. 65).
Dampak negatif barak militer terhadap sosial emosional anak menyebabkan anak kesulitan dalam mengolah emosi sehingga anak mudah marah, sedih, menarik diri dan bisa membuat remaja makin menentang sehingga merusak kepercayaan dan hubungan sosial serta memperkuat label negative pada anak (“nakal/bermasalah”) yang berbahaya bagi identitas diri. Minimnya dialog di barak militer juga tidak menyelesaikan akar masalah dan menimbulkan luka social (Puspita & Anggraeni, 2020, hlm.95).
Demikian juga dampak negatif pada moral dan etika anak, barak militer hanya menghasilkan kepatuhan tanpa kesadaran moral, dimana anak patuh karena takut hukuman, bukan pemahaman etika. Perubahan perilaku yang didorong karena hukuman menunjukkan kepatuhan pada tahap awal (pro-konvensional), sehingga anak bertindak benar hanya untuk menghindari konsekuensi negatif, bukan karena kesadaraan moral yang sebenarnya (Daud et al., 2022, hlm. 135).  Hal ini tentu saja bertentangan dengan pendidikan karakter ynng menumbuhkan nilai dari dalam diri, serta lingkungan yang keras juga menghambat pengembangan empati dan refleksi diri.

Keluarga berperan penting dalam pembentukan kepribadian serta karakter anak, lalu mengapa penguasa atau pihak luar ikut campur dengan cara yang koersif seperti barak militer ? yang notabene keluarga merasa tidak bertanggung jawab dan runtuhnya kepercayaan diri dalam memberikan bimbingan kepada anak. Dampak pada anak yang dipisahkan secara paksa tanpa alasan hukum yang sah akan mengganggu psikologis mereka dan menimbulkan perasaan mereka telah dibuang keluarga mereka.

Pengiriman anak-anak ke barak militer sebagai respons terhadap kenakalan remaja mungkin lahir dari niat baik menyelamatkan generasi muda dari penyimpangan perilaku. Namun, pendekatan yang menekankan pada disiplin keras tanpa mempertimbangkan hak-hak anak justru dapat menciptakan luka baru, baik bagi anak, keluarga, maupun masyarakat.

Kebijakan tersebut menunjukkan kecenderungan penguasa untuk mengambil alih peran keluarga melalui cara-cara yang tidak sesuai dengan prinsip pelindungan anak. Padahal, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 dengan tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak tumbuh dalam keluarga, mendapatkan pelindungan dari kekerasan, dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya.
Apakah barak militer satu-satu nya cara dalam mengatasi kenakalan remaja? tentu saja tidak , barak militer jelas bukan satu-satunya cara untuk mengatasi kenakalan remaja, bahkan cenderung kontraproduktif. Pendekatan ini seringkali mengabaikan akar masalah dan potensi positif remaja. Menguatkan peran keluarga, melalui kegiatan edukasi pola asuh positif, melakukan konseling keluarga terjangkau serta program mentoring orang tua dan memberikan pendampingan ekonomi keluarga untuk stabilitas
Demikian juga dengan sekolah sebagai pusat pengembangan karakter dan keterampilan sekolah, harus menyesuaikan kurikulum dengan mengajarkan keterampilan sosial-emosional, program mentoring guru-siswa, ragam klub minat-bakat, serta sistem deteksi dini dan intervensi perilaku. Pentingnya peran masyarakat yang partisipatif dan berdaya sangat dibutuhkan dalam mendukung program tersebut dengan cara membangun pusat komunitas ramah remaja, program peer counseling, kemitraan dengan sektor swasta untuk magang/wawasan karier, aktifkan Satgas Perlindungan Anak Berbasis Komunitas (PATBM) tanpa intervensi represif, dan kampanye kesadaran positif lewat media sosial.
Dengan menerapkan solusi tersebut akan menciptakan lingkungan yang positif bagi remaja dan secara langsung akan membekali mereka dengan keterampilan hidup dan menjauhkan mereka dari kenakalan, tanpa perlu pendekatan militeristik yang merusak.

Oleh sebab itu kolaborasi lintas sektor sangat berperan penting dalam membangun generasi muda yang berkarakter. Kolaborasi yang erat antara keluarga dan pemerintah menjadi pilar utama yang krusial, akan tetapi bukan hanya sekedar koordinasi administratif, akan tetapi kedua belah pihak memahami bahwa remaja merupakan sosok individu yang memiliki martabat luhur dan hak - hak asasi manusia yang wajib dilindungi terlepas dari perilaku dan  kenakalan yang mereka hadapi.

Pendekatan represif seperti barak militer mungkin membentuk fisik atau perilaku dan kedisiplinan sesaat bisa tercapai akan tetapi bisa merugikan untuk jangka panjang, karena sejatinya  hati, jiwa dan karakter tidak terbentuk dalam ketakutan. Demikian juga dengan nilai moral, rasa empati, resilliensi, dan pemikiran kritis hanya bisa berkembang secara optimal di lingkungan keluarga yang suportif, penuh kasih saying, memahami dan memberi ruang untuk berekspresi serta belajar dari kesalahan.

Anak- anak adalah bunga bangsa, bukan mesin yang bisa ditempa baja. Kebijakan barak militer mungkin tampak efisien, namun beresiko mematahkan kelopak Impian dan memadamkan nyala kreativitas. Barak militer mungkin membentuk tubuh, tapi kasih sayang keluarga yang membentuk hati.

KALI DIBACA

No comments:

Post a Comment