Digitalisasi dan Dekadensi: Hilangnya Kepekaan terhadap Ulama - Warta Global Jabar

Mobile Menu

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

Digitalisasi dan Dekadensi: Hilangnya Kepekaan terhadap Ulama

Thursday, 16 October 2025

wartaglobaljabar.id - Dalam kajian komunikasi massa, media memiliki kekuatan simbolik untuk membentuk persepsi publik melalui proses framing dan seleksi narasi. Tayangan Trans7 yang menyentuh ranah pesantren, khususnya kehormatan kiai, menunjukkan praktik representasi yang problematik. Ketika konten disusun dari potongan video amatir tanpa verifikasi sumber dan dikemas dengan intonasi naratif yang cenderung merendahkan, maka terjadi distorsi makna yang berisiko menciptakan bias kognitif dan delegitimasi simbol otoritas moral dalam komunitas pesantren.

Era digital telah membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi, berkomunikasi, dan mengakses informasi. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan teknologi, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: hilangnya kepekaan terhadap ulama. Ulama, sebagai penjaga moral dan spiritual umat, kini sering menjadi sasaran penghinaan, pelecehan, dan ujaran kebencian di media sosial. Fenomena ini mencerminkan dekadensi budaya dan krisis adab yang semakin nyata di tengah masyarakat digital.

Media sosial telah menjadi ruang publik baru di mana siapa pun dapat menyampaikan pendapatnya tanpa batas. Sayangnya, kebebasan ini sering disalahgunakan untuk menyerang figur-figur agama, termasuk ulama. Komentar bernada sinis, meme yang merendahkan, hingga tuduhan tanpa dasar terhadap ulama menjadi hal yang lumrah. Banyak dari pelaku penghinaan ini bahkan tidak memahami kapasitas keilmuan dan kontribusi ulama Terada masyarakat. Fenomena ini menunjukkan bahwa digitalisasi tidak selalu sejalan dengan peningkatan kualitas komunikasi dan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur.

Penyebab Hilangnya Kepekaan Kultural

Ada beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya kepekaan terhadap ulama di era digital. Pertama, krisis literasi digital. Banyak pengguna media sosial tidak memahami etika bermedia dan dampak dari ujaran mereka. Kedua, hilangnya tradisi penghormatan terhadap ilmu dan guru. Dalam budaya tradisional, ulama dihormati sebagai sumber hikmah dan bimbingan. Namun, budaya instan dan konsumtif di era digital telah menggeser nilai-nilai tersebut. Ketiga, pengaruh ideologi dan polarisasi politik. Ulama yang bersuara dalam isu-isu sosial seringkali diseret ke dalam konflik politik, sehingga kehilangan marwahnya sebagai penjaga moral umat.

Dampak terhadap Budaya dan Masyarakat

Penghinaan terhadap ulama bukan hanya merusak reputasi individu, tetapi juga berdampak pada tatanan sosial dan budaya. Pertama, masyarakat kehilangan figur teladan yang seharusnya menjadi panutan dalam kehidupan spiritual dan sosial. Kedua, generasi muda menjadi semakin jauh dari nilai-nilai keilmuan dan adab. Ketiga, munculnya ketegangan sosial akibat polarisasi dan konflik yang dipicu oleh ujaran kebencian terhadap ulama. Jika tidak ditangani, fenomena ini dapat mengarah pada dekadensi moral yang lebih luas dan hilangnya identitas budaya yang menjunjung tinggi ilmu dan hikmah.

Relasi antara santri dan kiai bukan sekadar struktur sosial, melainkan simpul etis dan spiritual yang mengikat melalui ilmu. Penghormatan lahir bukan karena status, melainkan karena cahaya pemahaman yang ditransmisikan. Namun, apakah ekspresi takzim harus menjelma dalam bentuk tubuh yang merendah hingga ngesot? Dalam tradisi adabul ‘alim wal muta’allim, penghormatan bukan ritual fisik semata, melainkan penghayatan terhadap keutamaan ilmu, proses pencarian, dan adab dalam meniti jalan pengetahuan

Solusi dan Pendekatan Pemulihan Kepekaan Kultural

Untuk mengembalikan kepekaan terhadap ulama, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Pertama, edukasi literasi digital harus digalakkan, terutama di kalangan generasi muda. Mereka perlu memahami etika bermedia dan pentingnya menjaga adab dalam komunikasi daring. Kedua, revitalisasi budaya penghormatan terhadap ilmu dan guru. Majelis ilmu, pesantren, dan lembaga pendidikan harus menjadi ruang pembelajaran adab dan penghargaan terhadap ulama. Ketiga, peran keluarga dan komunitas sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai penghormatan sejak dini. Keempat, ulama juga perlu hadir di ruang digital dengan pendekatan yang bijak dan edukatif, agar masyarakat dapat mengenal mereka secara lebih dekat dan menghargai kontribusinya.

Refleksi

Digitalisasi adalah keniscayaan, namun “dekadensi” bukanlah takdir. Kita memiliki tanggung jawab kolektif untuk menjaga marwah ulama dan mengembalikan kepekaan kultural yang mulai hilang. Ulama bukan hanya simbol keilmuan, tetapi juga penjaga nilai-nilai spiritual dan moral masyarakat. Dengan membangun budaya digital yang beradab, kita tidak hanya menjaga kehormatan ulama, tetapi juga merawat jati diri bangsa yang menjunjung tinggi ilmu dan hikmah. Semoga refleksi ini menjadi pengingat bahwa teknologi harus digunakan untuk memperkuat nilai, bukan merusaknya.

Penulis,
Bobby Trilaksono, M.Sos.
Peneliti di Lentera Huma Berhati (LHB)

KALI DIBACA

No comments:

Post a Comment