Seruan Mahasiswa untuk Pemerintah DKI Jakarta Menyelamatkan Lingkungan Ibu Kota
Oleh: Ihsan Abdul Haq, M.Pd
Warta - Ketua PW Hima Persis DKI Jakarta
Pendahuluan : Saatnya jakarta berbenah bukan sekadar peringatan setiap tanggal 22 April dunia memperingati Hari Bumi sebagai refleksi atas kondisi planet yang semakin genting. Tahun 2025 tema global “Our Power, Our Planet” atau dalam terjemahan lokal “Kekuatan Kita, Planet Kita” bukan sekadar slogan tapi sebuah seruan bahwa kekuatan untuk menyelamatkan Bumi bukan hanya ada di tangan aktivis atau ilmuwan akan tetapi jatuh kepada setiap warga terlebih pada pemangku kebijakan
Sebagai mahasiswa yang hidup dan belajar di Jakarta kami merasa urgensi ini begitu nyata. Jakarta bukan hanya ibu kota negara tetapi juga cerminan bagaimana Indonesia memperlakukan lingkungannya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempunyak peran vital namun, di tengah jargon pembangunan dan modernisasi masalah lingkungan justru terus memburuk dari gunungan sampah yang mengancam TPA Bantar Gebang, deforestasi wilayah penyangga seperti Bogor dan Depok polusi udara yang menyesakkan banjir musiman hingga krisis air bersih di pesisir dan pinggiran sungai semua adalah bukti bahwa kebijakan masih berpihak pada beton bukan pohon pada gedung bukan kehidupan.
1. Sampah Jakarta: Darurat yang Ditunda
Jakarta menghasilkan sekitar 8.000 ton sampah perharinya, mayoritasnya berakhir di TPA Bantar Gebang yang kini dalam kondisi nyaris kolaps padahal undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah mengamanatkan pendekatan pengurangan dan daur ulang, bukan sekadar buang dan buang.
Pemerintah Provinsi DKI sempat menggembar-gemborkan teknologi RDF (Refuse Derived Fuel) dan incinerator akan tetapi sampai pertengahan tahun 2025 ini belum ada implementasi yang berdampak luas Program bank sampah, komposting, dan pemilahan di sumber masih bersifat tempelan bukan sistemik. maka sebagai mahasiswa kami menilai ada kekeliruan paradigma sampah dipandang sebagai masalah teknis bukan sosial-ekologis Padahal, edukasi warga insentif daur ulang, dan regulasi ketat terhadap produsen adalah kunci dimana Perda yang mengharuskan produsen mengurangi kemasan sekali pakai, lalu Dimana roadmap Jakarta bebas plastik?
2. Deforestasi di Kawasan Penyangga: Mematikan Sumber Kehidupan
Mungkin sebagian menganggap deforestasi bukan isu Jakarta secara langsung, tapi mari jujur: udara segar dan air bersih di ibu kota sangat bergantung pada hutan dan kawasan hijau di Bogor DepokTangerang dan Bekasi.namun kenyataannya, proyek properti, perumahan elite, dan jalan tol terus menggusur ruang hijau pemerintah DKI, meski tidak memiliki yurisdiksi langsung atas wilayah-wilayah ini, seolah berkontribusi melalui kebijakan yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan dalam tema “Our Power, Our Planet” Jakarta seharusnya menunjukkan kekuatan politiknya untuk mengoordinasikan perlindungan kawasan hulu dimana komitmen Jakarta dalam memperjuangkan green belt Apakah pembangunan TOD (Transit Oriented Development) hanya menjadi kedok pengalihfungsi lahan?
3. Banjir: Bencana yang Dijadikan Takdir
Setiap musim hujan Jakarta tenggelam. Banjir menjadi "ritual tahunan" yang seolah tak bisa dihindari. Padahal, banjir bukan semata persoalan cuaca ekstrem, melainkan akibat perencanaan ruang yang cacat.Revitalisasi sungai yang digadang-gadang sebagai solusi justru kerap berujung pada penggusuran warga miskin kota, tanpa solusi pemukiman yang adil. Proyek naturalisasi yang diganti jadi normalisasi malah membuat sungai menjadi kanal buatan yang kehilangan fungsi ekologisnya. Kami menolak melihat banjir sebagai keniscayaan. Pemerintah harus menghentikan pendekatan teknokratik dan mulai membangun sistem drainase alami, memperluas lahan resapan, serta menghentikan izin pembangunan di wilayah rawan.
4. Polusi Udara: Racun yang Tidak Terlihat
Data IQAir secara konsisten menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Namun respons pemerintah masih setengah hati. Upaya seperti uji emisi ganjil genap dan kampanye kendaraan listrik belum menyentuh akar persoalan: ketergantungan Jakarta pada kendaraan pribadi dan minimnya ruang hijau.
Transportasi publik memang membaik MRT, LRT TransJakarta tapi masih belum cukup terintegrasi dan ramah pengguna jalanan tetap padat kendaraan pribadi makin bertambah, dan langit biru hanya jadi kenangan.Kekuatan kita bukan hanya dalam membangun jalur baru tapi juga dalam menghentikan pembangunan jalan tol baru yang justru mendorong konsumsi mobil pribadi. Pemprov harus berani menekan emisi dari sektor industri dan konstruksi bukan hanya menyalahkan warga.
5. Perubahan Iklim: Ancaman Global, Luka Lokal
Jakarta adalah kota yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim mulai dari kenaikan muka air laut, gelombang panas, hingga ancaman tenggelam sebagian wilayah utara pada tahun 2050. nammun hingga kini belum ada peta jalan adaptasi iklim yang holistik. Rencana pembangunan tanggul raksasa (Giant Sea Wall) pun menimbulkan kontroversi ekologis dan sosial, karena membahayakan nelayan dan sistem pesisir.
Dalam semangat “Our Power, Our Planet”, Jakarta harus memimpin transisi energi bersih, memperkuat komunitas rentan melalui kebijakan berbasis keadilan iklim dan menghentikan investasi pada proyek yang mempercepat krisis iklim.
6. Krisis Air Bersih: Realitas yang Tak Terlihat
Di pesisir dan bantaran sungai Jakarta, ribuan warga hidup tanpa akses air bersih Mereka bergantung pada air tanah yang tercemar limbah domestik dan industri Ironisnya, di kota ini, air bersih adalah komoditas mahal.
Privatisasi air sejak dekade 1990-an terbukti gagal. Publik menuntut re-municipalisasi, namun prosesnya berjalan lambat dan tidak transparan. Pemerintah harus mengembalikan kendali air ke publik dan menjadikan air bersih sebagai hak dasar, bukan komoditas.
Pembangunan hunian elite dan apartemen dengan kolam renang di pusat kota kontras dengan warga pesisir yang harus membeli air galon setiap hari lalu Di mana letak keadilan ekologisnya?
7. Solusi Penggusuran: Antara Janji dan Realita
Dalam banyak proyek “revitalisasi”, warga miskin kota justru menjadi korban. Penggusuran kerap dilakukan tanpa musyawarah tanpa ganti rugi yang layak, dan tanpa relokasi yang manusiawi. Padahal, mereka adalah bagian dari wajah Jakarta yang nyata.
Di tengah semangat Hari Bumi, penggusuran bukanlah solusi ekologis. Pemerintah harus mengedepankan pendekatan “land-sharing”, konsolidasi lahan, dan perencanaan partisipatif. Warga bukan penghalang pembangunan, tapi mitra dalam menjaga lingkungan
Kesimpulan: Kekuatan Itu Harus Diarahkan
Tema “Our Power, Our Planet” harus dimaknai lebih dalam oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kekuasaan dan sumber daya yang dimiliki pemerintah semestinya tidak digunakan untuk memperluas beton dan mempersempit ruang hidup, tetapi untuk memperkuat keberlanjutan hidup.
Kami Hima Persis Jakarta menyerukan agar Pemprov DKI:
1.Menyusun kebijakan pengelolaan sampah berbasis pengurangan di sumber dan ekonomi sirkular.
2.Menghentikan deforestasi di kawasan penyangga dan memperluas ruang hijau kota.
3.Membangun sistem pengendalian banjir berbasis alam dan partisipatif.
4.Menerapkan kebijakan udara bersih yang berani dan progresif.
5.Menyusun peta jalan adaptasi perubahan iklim dengan pendekatan keadilan.
6.Mengembalikan kontrol air ke tangan publik.
7.Menghentikan penggusuran paksa dan mendorong solusi berbasis komunitas.
Jakarta tidak butuh lebih banyak gedung pencakar langit, tapi butuh lebih banyak pohon yang menjulang. Jakarta tidak butuh lebih banyak pusat perbelanjaan, tapi butuh lebih banyak ruang untuk bernafas.Sebagai generasi muda, kami tak ingin hanya jadi penonton Kami akan terus bersuara, bergerak, dan mendesak. Dengan Program Aksi kami Jakarta Sustainbility Forum nantinya bukan hanya tentang Hari Bumi, tapi tentang hari esok Jakarta apakah ia akan layak huni, atau hanya menjadi simbol kegagalan peradaban Kekuatan Kita, Planet Kita. Kekuatan Jakarta, Tanggung Jawab Bersama.
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment